JellyPages.com

12 April 2013

SEBERSIT RASA TERPANCAR


Jarum jam telah menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Sinar matahari menerpa melalui sela jendela yang dibuka ibu ketika masih subuh. Tubuhnya masih menggeliat di atas kasur berseprei abu-abu yang kusut karena tidur. Kicauan burung gereja beradu kencang dengan suara alarm yang tak berhenti berbunyi. Hembusan angin pagi tak juga bisa membangunkan Joe sampai ketika ibu masuk dan membangunkannya untuk kesekian kali.
Panggilan pertama tak terjawab dan ibu tinggalkan menuju dapur. Beberapa lembar roti terambil, diolesi dengan mentega, coklat meses, keju parut, susu kental manis dan siap dimasukkan ke pemanggang. Setelah roti siap di meja makan, ia kembali ke ruangan itu dan masih sama, tidak ada jawaban. Suara decit termos tanda air mendidih seakan memekakan telinga. Dengan sigap jemari mulus itu memutar knop kompor ke arah angka 0. Dituangkannya air mendidih kedalam gelas tinggi berwarna oranye yang telah berisi gula pasir beserta sekantung teh celup merk terkenal. Diaduk perlahan  menghasilkan air berwarna kecoklatan dengan rasa manis namun kelat.
“Cepat bangun!” diguncangkannya badan anak itu sampai dia tidak lagi memejamkan mata. Ditariknya selimut lalu dilipat dan ditaruh diujung tempat tidur. Jendela dibuka lebih lebar lagi, hordeng tergeser agar sinar terik matahari dapat langsung menyinari. Berhasil. Joe mengusap mata yang silau terkena sinar, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil menggeliat seperti ulat. Diliriknya jam beker di samping bantal. Dengan cepat dia berlari mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Ibu masuk dengan membawa pakaian tergantung di hanger. Joe keluar dari kamar mandi, memakai pakaian dalam, mengambil pakaian tergantung itu dan memakainya. Kemeja putih pendek bertuliskan nama, Imanuel Joe Feroly.  Sepan biru pendek sepadan dengan dasi biru. Kaos kaki putih pendek terpasang satu paket dengan sepatu hitam bertali merk Ripcurl. Tangan gagah dengan jam tangan hitam melingkar di pergelangan tangan kiri menarik benda hitam yang berisikan papan ujian dan alat tulis. Tdak lupa handphone yang diseret masuk ke dalam saku celana. Ia pergi dengan meninggalkan bau parfum yang semerbak mengisi ruangan. Parfum yang khas.
            Televisi layar 32 inchi dan sofa nyaman di depan kamarnya terlewati. Kini ia berjalan menuju meja makan yang tersedia roti panggang dan teh. Tak sedikit pun ia menoleh kesana, namun ketika kaki hampir melewati batas pintu ia berbalik. Dicomotnya 2 roti panggang setelah tegukan terakhir dari gelas yang berisi teh manis. Klakson mobil nyaring memanggil Joe untuk segera pergi.
            Asap knalpot tertinggal di halaman rumah, suara mobil jauh meninggalkan pintu gerbang. Lantunan musik jazz berbanding terbalik dengan kecepatan mobil yang di bawa ayah Joe, mencapai 80 km/jam. Roti keju di pangkuan Joe sedikit demi sedikit berkurang. Kecepatan mobil tak mengganggu ritual makan paginya karna telah terbiasa menyantap di dalam mobil.
            Percakapan kecil namun penting bersuara di kesunyian. Apakah Joe sudah siap? Apakah semua peralatan sudah dibawa? Bagaimana dengan nomor? Joe harus tenang. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan dari mulut. Antara yakin dan tidak, yang pasti dia sudah berusaha sekuat tenaga. Semoga semua yang telah dipelajari tidak pergi dari otaknya. Keramaian sudah terlihat di sisi kiri jalan. Ayah membelokkan mobil dan masuk ke area SMA 3 Bandung.

            Joe masih terdiam di dalam mobil sambil membenarkan pakaian, rambut dan kembali menarik napas lalu dihembuskan. Ayah menoleh dan mematikan mesin mobil. Mereka turun bersamaan. Mata joe ke kanan dan ke kiri memandangi lingkungan sekolah itu. Mobil-mobil mewah berjejer rapi di parkiran depan, siswa-siswi hilir mudik mencari ruangan. Ada yang masih bersama orang tua, membaca buku sambil berjalan, menyantap sarapan pagi di taman, cekikikan bersama teman dan masih banyak lagi. Beragam jenis, tipe dan tindakan yang bergabung menjadi 1 di lingkungan sekolah ini.
            Joe kembali menarik napas saat melihat segerombolan teman satu sekolahnya. Disentuhkannya tangan ayah ke hidung seraya meminta doa dan restu agar  bisa menjawab soal dengan baik dan benar. Ayah mengelus ubun-ubun kepala anak lelakinya dan mengucapkan kata-kata yang membuat hati Joe tenang. Ia kembali ke belakang kemudi dan pergi ketika pundak anaknya mulai menghilang dari pandangan.
            Tubuh atletisnya berjalan tenang namun tidak berarti hatinya ikut melakukan itu. Pikiran yang sebenarnya berantakan dan tegang ditutupi dengan sebuah senyuman serta keenjoyan ketika kaki semakin mendekatkan diri dengan kumpulan siswa yang sedari tadi berkerumun disekitar pohon beringin.
            Komat kamit kata per kata, kalimat per kalimat terucap oleh bibir mungil gadis di depan tangga. Penampilannya menarik. Jilbab putih terpasang rapi di kepala dan terurai indah di pundaknya. Terlihat membaca buku yang terkesan sering dibuka. Kacamata tersangga tegak di hidung yang membantu penglihatannya lebih jelas. Posisi duduk Joe berubah dengan sendirinya ketika melihat keindahan wajah yang dimiliki oleh seseorang disana. Buku catatan  terbuka tanpa dilirik lagi hanya sentuhan kecil yang dapat menandakan bahwa dia masih mempunyai nafas.
            “Cel coba liat cewek di depan sana! Aku pasti bisa dapetin dia” ucapnya kepada Marcel yang sibuk menghapal disampingnya.
            “Yang mana? Emang kenal?  Jangan sampe gak dapet aja tu cewek, Joe” jawab Marcel seperti merendahkan.
            3 jam kemudian Joe sudah ada di kantin SMA 3 Bandung. dan tentu bersama teman-teman yang tadi pagi berkumpul bersamanya. Sejumlah soal ternyata membuatnya mual. Makan adalah satu-satunya cara agar isi perut itu tidak keluar. Tangan Joe menyalurkan makanan dari piring ke mulut. Mulut tetap bekerja sesuai tugas. Namun sepasang matanya memperhatikan sekeliling yang masih asing. Belum juga menemukan. Mata itu terus saja berkeliaran mencari sosok yang tadi pagi telah membuat tubuhnnya kaku. Tapi itu tidak berhasil.
            2 hari berselang, Joe menjerit kencang menggetarkan dinding kamar. Jika saja hidup, barang – barang di kamar itu mungkin telah berhamburan keluar menyelamatkan diri dari serangan suara yang nyaring. Dengan bangga dia menunjukkan nama yang terpampang di layar monitor kepada ayah dan ibunya. IMANUEL JOE FEROLY NOMOR PESERTA 512 LULUS TAHAP PERTAMA. Ayah dan ibu bangga, Joe sangat senang. Bukan hanya karena ia bisa lulus di sekolah favorit tetapi ia sangat berharap janji ayahnya akan ditepati.
            Tiba-tiba saja Joe teringat akan gadis di pagi hari itu. Dia memeriksa seluruh peserta yang lulus. Namun untuk apa dia melakukan itu? Apakah Joe tahu namanya? Tidak. Keinginan yang sangat membara, semoga masih bisa bertemu dengan perempuan itu.
            Tes tahap kedua sudah terlewati. Begitu juga dengan tahap ketiga. Sampai tahap terakhir Joe dapat menyelesaikannya. Namun satu yang masih mengganjal hati. Dimana perempuan itu? Apakah dia juga lulus disini? Apakah Joe masih bisa bertemu dengannya? Terlalu banyak pertanyaan yang berhubungan dengan dia. Itulah yang namanya, jatuh cinta.
            Masa Orientasi Sekolah dimulai. Joe masih penasaran dengan anak itu. Namun sepertinya sudah bersikap pasrah bahwa dia tidak akan bertemu lagi. 1 bulan setelah itu, acara khusus anak kelas 1. Seluruhnya terlibat. Orang tua turut diundang. Awalnya Joe berniat memperkenalkan seseorang itu kepada orang tuanya, namun itu tidak akan terjadi karena sampe sekarang pun ia belum juga bertemu. Joe sudah pasrah.
            Masa awal sekolah sangat ia nikmati. Bertemu banyak teman baru dengan lingkungan yang berbeda. Kini Joe bukan lagi siswa putih-biru SMP Labshcool namun sudah menjadi siswa SMA 3 Bandung. Suatu hari Joe melihat anak berjalan dari gerbang samping menuju kantin. Sekilas dari belakang ia mengenali sosok itu. Dan ketika dilihat dari depan memang benar, penampilannya tidak dipungkiri lagi persis sama dengan gadis yang dilihatnya ketika tes. Apakah ini mimpi di siang bolong? Tidak. Ini nyata. Joe memang melihat bidadari yang selama ini ia cari. Sungguh mengejutkan dapat bertemu untuk kedua kalinya.
            “Eh, itu siapa sih? Kok aku baru pertama kali ngeliat dia ya?”pertanyaan itu keluar dari mulut Joe.
            “Oh itu Angelica Kirana. Anak kelas X.1” timbal salah satu anak yang memamerkan deretan behel di gigi ketika Angel melintas di depan mereka.
            Tentu saja Joe tidak pernah melihatnya. Pertama, Joe jarang sekali keluar kelas. Kedua, anak kelas X.1 itu kerjaannya belajar terus jadi jarang juga keluar kelas. Sejak saat itu dia mengetahui namanya. Dan sejak saat itu juga dia mulai rajin mencari informasi mengenai Angel. Tetapi, jika bertemu langsung dia sangat malu. Apakah Angel tahu bahwa selama ini ada anak yang selalu memperhatikannya?
            Teman-teman Joe mulai curiga. Selama ini dia sellau mencari informasi mengenai Angel, tapi ketika ditanya tidak pernah ingin memberitahu tujuannya. Teman dekatnya mulai geram, suatu hari Joe diinterogasi sampai akhirnya dia mengakui bahwa dia menyukai Angelica Kirana. Setiap hari Joe diejek habis-habisan. Maklum teman yang jatuh cinta. Mereka pun berniat untuk membantu mendekatkan Joe dan Angel.
            Pagi itu di kelas X.1, Hanna mengatakan bahwa ada cowok yang meminta nomornya. Dan itu Imanuel Joe Feroly. Angel terkejut. Dia tidak pernah mendengar nama itu, apalagi mengenalnya. Dia tidak suka. Kalau saja dia memang maenginginkannya, dia harus memintanya sendiri. Berhari-hari Hanna menanyakan hal itu, namun Angel tetap saja tidak mau. Dia tidak suka dengan orang itu. Beberapa minggu setelah itu, Hanna menyerah.
            Di sore hari yang cerah, Angel sedang santai di ruang tamu. Ditemani oleh headset yang tergantung di telinganya. Cemilan tertempel di samping tangannya. Dan novel yang terbuka dipangkuannya. Tiba-tiba saja seseorang di luar sana mengetuk pintu. Dan ketika di buka, ternyata itu bukan mas-mas yang ingin menawarkan panci. Bukan juga penjual eskrim langganannya. Tapi, seseorang itu adalah Joe. Joe nekat datang ke rumah Angel untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar menyukai Angel. Tapi apa yang dilakukan Joe?
            Petikan merdu senar gitar dengan lagu yang romantis dimainkan oleh Joe. Kata-kata yang seolah menggambarkan perasaan hati sejatinya sangat jujur. Angel diam terpaku di depan pintu dengan mendengarkan persembahan Joe. Sungguh romantis. Setelah lagu selesai dimainkan, Joe mengeluarkan sesuatu dari balik pot bunga yang disembunyikannya sebelum mengetuk pintu. Tadaaa, sebuah boneka yang lucu kini ada ditangan Angel. Angel begitu senang.
            Di sekolah, lagi-lagi seorang teman Joe nekat ke kelas Angel hanya untuk menanyakan nomor hpnya. Dia tidak ingin, tetapi sejak kejadian kemarin sore Joe menyanyikan lagu untuknya, membuat hati Angel mulai merasakan getaran. Akhirnya dengan senang hati Angel memberikan nomor hp.
            Kedekatan mulai terlihat setelah mereka sudah saling mengenal. Pesan demi pesan yang tercipta dari benda canggih bernama hp, menimbulkan percakapan yang membawa mereka semakin intim. Joe tidak malu lagi mengatakan perasaannya sejujurnya kepada Angel. Namun tidak dengan Angel, meskipun dia sudah mulai menyukai Joe, tapi dia masih ingin melihat kesungguhan yang dilakukan Joe.
            Berbulan-bulan mereka seperti ini, sampai akhirnya Joe mengungkapkan keinginnannya kepada Angel melalui pesan. Namun Angel menginginkan kesungguhan Joe. Akhirnya ketika pulang sekolah, dengan sabar namun gugup, Joe menunggu Angel pulang di parkiran. Ketika pundak pujaan mulai terlihat Joe bersiap. Semakin dekat dan akhirnya Joe memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung di depan Angel. Dengan percaya diri dia mengatakan, apakah kamu mau menjadi pasanganku? Dan dengan tulus Angel pun menjawab, iya. Dan sejak saat itu, keinginan dan penantian Joe akhirnya menjadi kenyataan. Orang-orang di sekitar, bersorak kuat mengejek mereka berdua. Tentu saja malu namun bahagia. Hari ini adalah hari yang sangat dinantikan oleh Joe dan itu berhasil. Dia telah menemukan yang selama ini dicari. Dan mendapatkan yang selama ini diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar