Dikisahkan, Tan Bun An seorang
bangsawan Tiongkok mengarungi samudera dalam kegiatannya berdagang. Kemudian ia
singgah di sebuah negeri yang dikenal dengan nama Palembang. Setelah beberapa
hari Tan Bun An ini berada di Palembang, ia berkenalan dengan Siti Fatimah,
gadis asli Palembang yang cantik nan menawan.
Perkenalannya berlanjut dengan cinta sehingga Tan Bun An berniat memperistri Siti Fatimah. Namun, ia harus pulang terlebih dahulu ke negerinya untuk mengabarkan keinginannya kepada keluarga besarnya. Beberapa bulan kemudian, Tan Bun An dengan beberapa armada kapal laut dan dikawal beberapa prajurit asal negerinya kembali berlayar ke Palembang. Dia sampai dengan selamat dan langsung menuju ke kediaman Siti Fatimah yang dijaga ketat para punggawa kerajaan. Singkat cerita, keduanya menikah dengan perayaan meriah.
Tiba-tiba, hati raja dan permaisuri gelisah ketika mendengar putri mereka akan diboyong ke negeri Tiongkok guna diperkenalkan Tan Bun An kepada keluarga besarnya. Semula sang raja dan permaisuri dengan berat hati melepaskan kepergian anaknya untuk berlayar menempuh samudera yang luas. Namun, dengan bijaksana sang raja dan permaisuri pun melepaskan anaknya pergi ke Tiongkok setelah mendengar Tan Bun An berjanji akan menjaga Siti Fatimah seperti menjaga nyawanya sendiri. Tan Bun An berjanji akan membawa kembali Siti Fatimah ke Palembang setelah enam purnama.
Tan Bun An ternyata bukan seorang bangsawan yang tidak menepati janji. Ketika waktu enam purnama tiba, ia langsung menceritakan janjinya kepada ayah dan ibunya untuk kembali ke negeri Palembang. Keinginan Tan Bun An direstui keluarganya. Bahkan, Tan Bun An dibawakan emas yang akan dipersembahkan ke negeri Palembang.
Hari demi hari, sampailah armada perahu layar Tan Bun An di Sungai Musi. Saking senangnya, Tan Bun An minta diperlihatkan upeti yang akan dipersembahkannya kepada sang Raja Negeri Palembang. Betapa kecewanya Tan Bun An setelah melihat upeti emas yang dimasukkan dalam kotak-kotak kayu itu berisi sayuran. Tan Bun An merasa malu jika sampai ketahuan upetinya hanya berupa sayuran. Maka, dengan emosi, dibuangnyalah peti-peti itu ke sungai. Ternyata, dalam peti-peti itu memang ada emas yang dicampurkan dengan sayur supaya terhindar dari para perompak. Karena menyesal, akhirnya Tan Bun An beserta Siti Fatimah dan armada kapalnya menenggelamkan diri di alur Sungai Musi. Bangkai kapal dan muatannya yang tenggelam itu akhirnya menjadi onggokan tanah yang sekarang kita kenal sebagai Pulau Kemarau.
Perkenalannya berlanjut dengan cinta sehingga Tan Bun An berniat memperistri Siti Fatimah. Namun, ia harus pulang terlebih dahulu ke negerinya untuk mengabarkan keinginannya kepada keluarga besarnya. Beberapa bulan kemudian, Tan Bun An dengan beberapa armada kapal laut dan dikawal beberapa prajurit asal negerinya kembali berlayar ke Palembang. Dia sampai dengan selamat dan langsung menuju ke kediaman Siti Fatimah yang dijaga ketat para punggawa kerajaan. Singkat cerita, keduanya menikah dengan perayaan meriah.
Tiba-tiba, hati raja dan permaisuri gelisah ketika mendengar putri mereka akan diboyong ke negeri Tiongkok guna diperkenalkan Tan Bun An kepada keluarga besarnya. Semula sang raja dan permaisuri dengan berat hati melepaskan kepergian anaknya untuk berlayar menempuh samudera yang luas. Namun, dengan bijaksana sang raja dan permaisuri pun melepaskan anaknya pergi ke Tiongkok setelah mendengar Tan Bun An berjanji akan menjaga Siti Fatimah seperti menjaga nyawanya sendiri. Tan Bun An berjanji akan membawa kembali Siti Fatimah ke Palembang setelah enam purnama.
Tan Bun An ternyata bukan seorang bangsawan yang tidak menepati janji. Ketika waktu enam purnama tiba, ia langsung menceritakan janjinya kepada ayah dan ibunya untuk kembali ke negeri Palembang. Keinginan Tan Bun An direstui keluarganya. Bahkan, Tan Bun An dibawakan emas yang akan dipersembahkan ke negeri Palembang.
Hari demi hari, sampailah armada perahu layar Tan Bun An di Sungai Musi. Saking senangnya, Tan Bun An minta diperlihatkan upeti yang akan dipersembahkannya kepada sang Raja Negeri Palembang. Betapa kecewanya Tan Bun An setelah melihat upeti emas yang dimasukkan dalam kotak-kotak kayu itu berisi sayuran. Tan Bun An merasa malu jika sampai ketahuan upetinya hanya berupa sayuran. Maka, dengan emosi, dibuangnyalah peti-peti itu ke sungai. Ternyata, dalam peti-peti itu memang ada emas yang dicampurkan dengan sayur supaya terhindar dari para perompak. Karena menyesal, akhirnya Tan Bun An beserta Siti Fatimah dan armada kapalnya menenggelamkan diri di alur Sungai Musi. Bangkai kapal dan muatannya yang tenggelam itu akhirnya menjadi onggokan tanah yang sekarang kita kenal sebagai Pulau Kemarau.
Tan
bun an : hayya
! bagusnyo tempat ini ma , rasanyo pengen nginep di sini aa(sambil
memalingkan wajah ke kanan dan ke
kiri)
Prajurit
: ayo lohay
kita harus pergi sekarang untuk mencari tempat tedok kareno
La nak malam (sambil
merunduk di depan tuan tan bun an
dengan
rasa hormat
setelah berapa hari tan bun an berada di
negeri Palembang. Ia berkenalan dengan Siti Fatimah, gadis asli Palembang yang
cantik dan menawan
Tan bun an
: hey cewek cantik
siapo nian namo kau ni?(mendekati sang
gadis dgn perlahan)
Siti Fatimah : ohh (terkejut) siapo kau cak
nyo bru kali ini aku nyingok kau disini?
Tan Bun an :
aku Tam bun an, aku memang bukan uwong negeri sini, aku ni
uwong tiongkok yang sengajo mamper ke tempat
ini.
Siti Fatimah : oh kalo cak itu kenalke aku siti
fatimah asli dari negeri ini (tersenyum manis kepada tan bun an)
Tan bun an : bagus nian
namo kau Fatimah, nah
Fatima aku nk pegi dulu, mokasih untuk kenalan nyo semoga b kito biso ketemu lg laen waktu (pergi
meninggalkan Fatimah)
perkenalannya berlanjut dengan cinta sehingga
tan bun an berniat ntuk memperistri Siti Fatimah. Namun ia hurus pulang
terlebih dahulu untuk mengabarkan keinginnannya kepada keluarga besarnya.
Tan bun an : ayah, ak nk nyampeke kabar bagus na pak (menatap serius kepada orang tuanya).
ayah tan bun an : ohh(terkejut) kabar bagus ap nian nak yang kau maksud?
Tan bun an : pak, sebenernyo
ak punyo niat nk ngawenke gades negri seberang it na pak
Ibu tan bun an : demiapo?(Dengan
hati yang gembiira)
Ayah tan bun an : cubo ceritoke dulu ap yang terjadi ni
Tan bun an :
demikamu la buk, cak ini na pak e pas ak mamper k negri palembang, ak tu betemu
dengen gades cantikkkkk nian aku ngeser nai sm dio, ak nk nyadike dio bini ak
pak
Ibu tan bun
an :
ohysdh kalo kau nk cak it, kami terserah sm kau b ap kendak kau kami toroti b
Ayah tan bun an : bener nian emang kato ibuk kau tu,
kawenkelah dio kalo kau galak (mengelus kepala anaknya)
Tan bun an : mokasih bapak ibuk lah
ngebolehke ak kawen sm dio(bersujud dan pergi meninggalkan ayah daan
ibunya).
Beberapa bulan
kemudian, Tan bun an dengan beberapa armada kapal laut dan di kawal dari
beberapa prajuritnya kembali berlayar ke negeri Palembang. Dia sampai dengan
selamat di negeri inni dan langsung menuju ke kediaman Siti Fatimah yng di jaga
ketat oleh punggawa kerajaan. Singkat cerita mereka berdua menikah dengan
perayaan yang meriah.
Siti Fatimah : tau dk koko tu ak
sneng nian nepati janji nk ngawenke ak tu (tersenyum dan menatap bahagia suaminya)
Tan bun an :
iyo dindo ak jg seneng kalo kau seneng.sebenernyo ak nk ngajak kau k negri ak
untk nemui bapak sm ibuk ak, kau galak dk ekot sm ak?
Siti Fatimah : iy koko ak galk ekot sm koko k
negri ny koko, payokla kito mintak izin k tmpt ayah sm ibuk dindo dulu ye(pergi
menemui ayah dan ibu siti Fatimah)
Ketika sampai di
kerajaan ayah fatimah
Tan bun an : ayah sebenernyo ak kesini ni
untuk mintak izin sm ayah nk ngajak calon bini ak k tempat asal ak di tiongkok,
untuk ngenalke dio sm bapak ibuk ak dsno, kirokiro boleh dk yah?
tiba-tiba, hati
raja dan permaisuri gelisah mendengar putrid mereka akan dibawa ke negeri
tiongkok guna memeperkenalkan tan bun an pada keluarga besarnya.
Tan bun an : aku berjanji
apabila ayah dan ibu bersenag hati memberikan izin
padaku, aku akan berjanji menjaga istriku siti Fatimah anakmu seperti
menjaga nyawaku sendiri selama kami berada di sana.
Semula raja dan
permaisuri dengan berat hati melepaskan anaknya pergi berlayar menempuh samudra
yang luas. Namun, dengan bijaksana sang raja dan permaisuripun rela melepaskan
anak mereka pergi ke tiongko setelah mendengar janji tan bun an untuk menjaga
Siti Fatimah seperti nyawanya sendiri. Tan bun an berjanji akan membawa kembali
Siti Fatimah ke Palembang setelah enam purnama.
Raja : okelah kalu cak it, tp kau harus nepati janji kau
Permaisuri : jago anak ak tu jngn kau biarke b, awas kau men anak ak ilang!
Tan bun an : iyo ayah ibuk, tenang b biso d aturr
Tan bun an bukan
seorang bangsawan yang tidak menepati janji. Ketika waktu enam purnama tiba iya
menceritakan janjinya kepada ayah dan ibunya untuk kembali ke negeri Palembang.
Tan bun an : bapak ibuk enam purnama sdh ak dsini, ini waktu ny ak balek k palembang
Ayah : demiapo cepet nian
kau balek nyo, ysdhla dkpp, jago bini kau tu, ayah netep salam b sm ayah sm
ibuk ny fatimah jngn dk kau salami
Ibu : ohysdh tan bun an, jago b bini kau tu, nah emas untk kau bawak balek
ksano
Tan bun an : iyoiyo pak ibuk, mokasih la ngizinke ak balek
Akhirnya
keinginan tan bun an di restui keluarganya. Bahkan tanbun an di bawakan emas
yang akan di persembahkan ke negeri Palembang. Tan bun an bersama siti fatimah pun berlayar untuk kembali ke palembang.
Tan bun an : sedenget lagi kito bakalan
betemu dengan ayah samo ibok mu dindo.
Siti Fatimah : iyo koko
Tan bun an : oyo prajurit cubo cubo
tolong bukake peti itu, aku pngen nyingoknyo.
Prajurit : iyo tuan. ( sambil
membukakkan peti tsb )
Tan bun an : (terkejut)
Hari demi hari. Sampailah armada perahu layar
ke sungai musi. Saking senangnya. Tan bun an minta di perlihatkan upetinya yang
akan di persembahkannya kepada raja negeri Palembang. Betapa kecewanya tan bun
an setelah melihat upeti emasnya yang dimasukan dalam kotak kayu itu berisi
sayuran. Tan bun an merasa malu jika sampai ketahuan upetinya hanya berupa
sayuran. Maka dengan emosi, di buangnya peti-peti itu ke sungai. Ternyata dalam
peti itu memang ada emas yang di campur denag sayuran supaya terhindar dari
para perompak. Karena menyesal, akhirnya tan bun an beserta siti Fatimah dan
armada kapalnya menenggelamkan diri di alur sungai musi. Bangkai kapal dan
muatannya yang tenggela itu akhirnya menjadi onggokan tanah yang sekarang kita
kenal sebagai pulau kemarau.